Ide European Super League sendiri pertama kali lahir pada penghujung dekade 80-an. Laman Sportbusiness menyebut bahwa ide ini pertama kali muncul dari Silvio Berlusconi, politisi yang juga pemilik AC Milan waktu itu.
Virus Covid-19 merenggut lebih dari tiga juta jiwa sejauh ini. Salah satu korban dari virus yang menyerang organ pernapasan ini adalah Mario Bogarelli. Pria Italia berusia 64 tahun ini harus menutup usia pada akhir Maret 2021 lalu usai sepuluh hari berjuang melawan infeksi virus tersebut.
Bogarelli bukanlah sosok anonim di dunia sepak bola. Selain sebagai direktur strategi di salah satu agensi olahraga, ia juga adalah salah satu tokoh yang sempat membidani wacana untuk melahirkan European Super League, yang belakangan ini membuat kancah sepak bola dunia riuh.
Ide European Super League sendiri pertama kali lahir pada penghujung dekade 80-an. Laman Sportbusiness menyebut bahwa ide ini pertama kali muncul dari Silvio Berlusconi, politisi yang juga pemilik AC Milan waktu itu. Namun, kompetisi usulan Berlusconi ini akhirnya gagal setelah UEFA mengubah format Piala Champions menjadi Liga Champions dan meningkatkan nilai komersial kompetisi ini.
Pada 1992, berkat bantuan Televisions Event and Media Marketing, Liga Champions lahir kembali dengan brand yang lebih segar dan juga lebih baik secara komersial.
Lahir Lagi Satu Dekade Berselang
Sekitar satu dekade setelah Berlusconi melontarkan ide Super League, giliran Bogarelli yang kembali mengapungkan wacana ini. Wacana melahirkan kompetisi yang akan menjadi tandingan bagi Liga Champions ini dinamakan Project Gandalf.
Bogarelli tak sendiri. Kali ini, ia menggandeng Rodolfo Hecht, salah seorang wiraswastawan muda yang sudah banyak makan asam garam di dunia keuangan. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Hecht bekerja di Fininvest SpA, lembaga keuangan yang dimiliki Berlusconi. Hecht sendiri merupakan seorang suporter AC Milan biasa sebelum kerap bertukar pikiran dengan Enrico Barozzi, salah seorang spesialis investasi di JP Morgan.
Dari pembicaraan dengan Barozzi, Hecht sadar bahwa kompetisi sepak bola tak terjual dengan baik. Karenanya, kompetisi gagal meraup keuntungan seperti yang seharusnya.
Setelah sukses merevolusi sepak bola Italia dengan penjualan hak siar pertandingan, Hecht bersama Media Partners -juga Bogarelli- melangkah lebih jauh. Pada 1997, mereka membangkitkan lagi ide ihwal European Super League.
Ide para 'revolusioner' dari Italia ini simpel. Tim terbaik akan menghadapi tim terbaik. Tim-tim terbaik ini akan bertarung dalam sistem round robin yang bakal dihelat tiap tengah pekan.
Laman Sportcal mencatat, ada 12 klub yang disebut mendukung usulan tersebut. Dua raksasa Premier League, Manchester United dan Liverpool disebut termasuk sebagai pendukung ide Bogarelli dan Hecht ini.
Selain iming-iming gengsi, klub-klub ini juga digoda dengan iming-iming pendapatan yang sangat besar. Bogarelli dan kawan-kawan menjanjikan peserta European Super League mendapat minimal 30 juta Euro hanya dari share televisi.
Demi memuluskan idenya, Hecht melakukan safari pada musim semi 1998. Ia berkeliling Eropa menemui para petinggi klub-klub top Eropa.
"Saya hanya meminta mereka melihat distribusi pendapatan. Misi saya adalah meningkatkan pendapatan klub, alih-alih memperkaya agen pemasaran atau para birokrat," kata Hecht, dilansir dari Sportcal.
Namun, ide Hecht mendapat banyak tentangan. New York Times, dalam sebuah editorialnya menilai bahwa European Super League akan merusak jiwa dari kompetisi.
UEFA sebagai otoritas di sepak bola Eropa pun angkat bicara. pada Juni 1998, Sekjen UEFA waktu itu, Gerhard Aigner berkata, "Super League akan membagi sepak bola Eropa menjadi miskin atau kaya. Klub-klub yang ikut bergabung dengan gagasan Mr. Hecht akan dikeluarkan dari kompetisi resmi FIFA dan UEFA. Para pemain tim-tim tersebut juga tidak akan bisa bermain di Piala Dunia."
Panik, Hecht berusaha bernegosiasi dengan UEFA. Bahkan, ia menawarkan dana sebesar 3,6 miliar Euro untuk pengembangan sepak bola usia muda. Namun, UEFA bergeming. Walhasil, ide Hecht dan kawan-kawan harus mati sebelum sempat lahir.
"Aigner arogan. Ia menguliahi saya bahwa UEFA lebih tua dari saya dan saya tak punya hak untuk menginisiasi Super League," tukas Hecht.
Kendati gagal lahir, ide Hecht dan kawan-kawan ini tetap meninggalkan warisannya. Akibat ide ini, UEFA dipaksa melakukan reformasi dalam sistem turnamen mereka. Piala Winners dihapus. Selain itu, jumlah peserta Liga Champions ditingkatkan. Tak lupa, mereka juga meningkatkan share kepada partisipan Liga Champions. Terpenting, sengkarut soal European Super League kali ini juga menyadarkan klub-klub top Eropa betapa besar nilai tawar mereka di hadapan otoritas.
Digaungkan Lagi Oleh Perez
Pada 2009, ide pembentukan European Super League kembali bergaung. Kali ini, pencetusnya adalah Florentino Perez.
Perez baru saja kembali ke Real Madrid dan memulai lagi era Galacticos dengan mendatangkan sejumlah bintang seperti Kaka, Cristiano Ronaldo, dan Karim Benzema.
Namun, ini tak membuatnya puas. Ia mengapungkan lagi wacana pembentukan European Super League. Ia mengulang alasan Hecht lebih dari satu dekade silam yang menyebut bahwa liga super ini akan menjamin tim terbaik bertemu dengan tim terbaik.
"Hal ini kerap kali tak terjadi di ajang Liga Champions," kata Perez waktu itu, seperti dilansir dari BBC.
Sama seperti sebelumnya, ada iming-iming uang yang sangat besar bagi tim-tim yang mau bergabung dengan kompetisi gagasan Perez ini.
Lagi-lagi, ide ini kandas setelah UEFA mengambil jalan tengah. Demi kepentingan televisi, UEFA mengubah jadwal pertandingan Liga Champions, mulai Babak 16 Besar.
Kian Dahsyat pada 2021
Wacana European Super League kembali muncul ke permukaan pada 2021 ini. Kali ini, ide tersebut diusung 12 klub papan atas Eropa. Mereka adalah: AC Milan, Arsenal, Atletico Madrid, Chelsea, Barcelona, Inter Milan, Juventus, Liverpool, Manchester City, Manchester United, Real Madrid, dan Tottenham Hotspur.
Klub-klub inisiator ini sejatinya merupakan klub-klub mapan secara finansial. Dari 12 klub ini, delapan di antaranya berada di dalam daftar sepuluh besar klub-klub dengan harga skuad termahal di kancah sepak bola dunia.
Dengan skuad berbanderol tinggi tersebut, tentu biaya yang harus dikeluarkan manajemen klub-klub tersebut sama sekali tak murah. Apalagi, saat ini masih berada dalam kondisi pandemi Covid-19.
Faktor finansial inilah yang sepertinya menjadi pendorong utama 12 klub tersebut menginisiasi kompetisi ESL. Dalam rilis klub-klub peserta ESL, disebutkan ada beberapa alasan di balik inisiatif pembentukan kompetisi sempalan ini. Salah satunya adalah soal finansial.
"Format Super League datang di masa-masa pandemi global yang menegaskan ketidakstabilan dalam model ekonomi sepak bola Eropa yang sekarang," demikian kata klub-klub inisiator ESL dalam rilis mereka.
Masih sama seperti sebelumnya, ide ini juga dibarengi dengan iming-iming uang dengan jumlah melimpah. Masing-masing klub pendiri disebut bakal menerima dana sebesar 3,5 miliar Euro.
Namun, sepertinya ide menggelar European Super League kali ini juga bakal kembali kandas. Klub-klub pendiri disebut pecah kongsi. Dimulai Manchester City, seperti dilansir dari BBC, enam klub Premier League yang disebut sebagai inisiator European Super League, disebut mundur dari kompetisi tersebut.
Hat-trick JP Morgan
Ada benang merah dalam wacana untuk melahirkan European Super League. Benang merah tersebut bernama JP Morgan.
Pada Oktober 1997, Hecht sempat bertemu dengan perwakilan JP Morgan di London. Kendati sempat diwarnai diskusi alot, Spiegel mencatat bahwa JP Morgan setuju untuk mengucurkan dana sebesar 1,2 miliar Euro untuk mendanai ide Hecht dan kawan-kawan.
Dalam sengkarut yang terjadi pada 2009, nama JP Morgan kembali disebut berada di belakang usulan Florentino Perez untuk menggelar European Super League. Namun, waktu itu, tak ada bukti jelas soal keterlibatan salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia ini.
Pada tahun 2021, peran JP Morgan sebagai penyokong ide European Super League kian terang-benderang. Melalui juru bicara mereka, JP Morgan secara mengkonfirmasi bakal mendanai European Super League, jika kompetisi tersebut berjalan.
Diabadikan dalam Game FIFA
European Super League memang sejauh ini belum terwujud. Namun, jika tak sabar ingin melihat klub-klub terbaik dunia beradu dalam sebuah turnamen, Anda bisa menjajal bermain game klasik FIFA 99.
Dalam game yang dirilis EA Sports pada 1998 ini ada menu turnamen bernama European Dream League. Ada 20 tim terbaik Eropa, saat itu tentunya, yang bisa dipilih. Ke-20 tim ini adalah: AC Milan, Arsenal, Bayern Munich, Benfica, Brondby, Borussia Dortmund, Dynamo Kiev, Barcelona, Feyenoord, Galatasaray, IFK Goteborg, Inter Milan, Juventus, Liverpool, Manchester United, Monaco, PSG, Glasgow Rangers, Real Madrid, dan Rosenborg.
Format permainannya, 20 tim ini dibagi dalam dua grup. Kemudian masing-masing klub akan bertemu sebanyak empat kali. Kemudian, dua tim terbaik dari masing-masing grup akan bertemu dalam semifinal yang digelar dalam dua leg. Pemenang akan bertemu di final memperebutkan gelar juara.
(Bola.net/Dendy Gandakusumah)
Reporter: bola.net